Senin, 28 Maret 2016

SEBUAH PERMAINAN BERNAMA “MENOLONG”



Saat semalam iseng-iseng baca buku pelajaran PPKn keponakan saya yang berjudul “Tolong-menolong”,  saya jadi tergoda untuk membuat sedikit teori tentang tipe-tipe orang dalam menolong. Tentu saja teori ini bukan hasil penelitian serius. Apalagi tulisan ini dibuat untuk alasan mengulur-ulur waktu mandi pagi saya di hari minggu. Nah begini teorinya, ada 3 tipe orang dalam menolong :

Tipe pertama adalah menolong dengan tulus. Ini tipe langka. Mereka menolong tanpa embel-embel (tidak ada tanda bintang *syarat dan ketentuan berlaku seperti di iklan-iklan). Saya pernah merasakan pertolongan seperti ini. Orang-orang yang tidak saya kenal tiba-tiba memberikan jalan buat kendaraan saya sambil tersenyum tulus disaat mobil-mobil lain begitu takut diserobot jalurnya. Suatu hari saat saya terjepit masalah berat orang tipe ini pernah diam-diam (tanpa saya tahu) memberikan bantuan yang membuat saya terharu bahagia. Saking bahagianya sayapun belajar ‘membalas’ kebaikan mereka dengan cara membantu orang yang sedang terjepit juga. Awalnya saya pikir orang-orang tulus ini akan kehilangan sesuatu (uang, waktu, tenaga, dll), ternyata saya salah. Mereka malah mendapatkan sesuatu. Sebuah kebahagiaan yang diam-diam menyelinap dalam hati mereka. Sayapun mulai ketagihan menolong orang yang sedang terjepit masalah setelah merasakan kebahagiaan ini. Sampai suatu saat saya menyadari bahwa pertolongan yang saya berikan bukan pertolongan yang tulus, tapi mengharapkan kebahagiaan untuk diri saya. Apalagi kalau orang yang saya tolong mengirimkan pesan sms rasa terima kasih yang mendalam ke hp saya. Sayapun dibuat bahagia, tapi ketulusan sudah hilang entah kemana. 

Tipe kedua adalah menolong karena berharap sesuatu. Ini tipe paling banyak. Kalau anda pergi mengurus surat-surat kendaraan bermotor misalnya, akan banyak orang di loket yang berkata “Mau saya bantu pak/bu?”. Di lampu merah juga ada orang yang membersihkan kaca mobil anda tanpa anda minta. Disaat hujan ada orang-orang yang memberi anda payung agar tidak kebasahan. Tentu saja argo tarifnya berjalan. Ngomong-ngomong soal payung, teman saya punya cerita lucu. Saat beribadah umroh ia pernah terjebak hujan di masjid. Seorang bapak tua tiba-tiba memberikan ia payung dan mengantarkannya ke hotel di seberang masjid. Tiba di hotel teman saya mengeluarkan dompet dan memberikan beberapa riyal ke bapak tadi. Si bapak buang muka meninggalkan teman saya sambil mengatakan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab. Teman saya melongo. Dia tanya sama orang di sebelahnya apa yang diucapkan bapak tadi. Ternyata bapak tua tadi bilang “ Semoga Allah mengajarkan keihklasan hati kepada orang-orang di negri anda”. Teman saya malu setengah mati. Beginilah hasil didikan bangsa kita katanya. Kita dididik untuk selalu menyiapkan uang tempel karena mata uang ketulusan tak laku lagi untuk bertransaksi di negri ini.

Tipe ketiga adalah menolong untuk mendapatkan kekuasaan. Tipe ini mirip dengan tipe kedua. Mereka mengharapkan sesuatu, tapi bukan materi. Mereka menginginkan kekuasaan terhadap orang yang ditolong! Waktu masih mahasiswa dulu (zaman orde baru) saya pernah bekerjasama bisnis dengan seorang teman. Usianya masih sebaya dengan saya. Saya jadi suplier diperusahaannya. Ia sendiri sudah jadi pengusaha sukses. Perusahaannya ditunjuk menjadi rekanan sebuah departemen di pemerintahan. Jadilah di usianya yang masih awal 20an, ia sudah bergaul dengan menteri dan dirjen. Diusia belia ia sudah bisa beli mobil dan beberapa properti. Teman saya ini selalu didampingi seorang bapak setengah tua kemana-mana. Ia seorang paranormal yang selalu membimbing langkah bisnisnya. Bukan strategi bisnis umum yang ia ajarkan tapi strategi ala paranormal yang membingungkan. Sayapun dibuat pusing kalau bicara dengan bapak ini. Tapi apa daya melawan, semua kata-kata bapak ini selalu terbukti benar. Teman saya bisa jadi orang kaya dalam hitungan bulan di bawah bimbingannya. Anehnya, orang ini tidak pernah minta apapun dari teman saya. Ia tidak pernah minta uang kecuali sekedar untuk hidup sehari-hari. Ia cuma minta satu hal : kepatuhan mutlak. Ia minta teman saya untuk menuruti semua perkataannya dan tidak boleh membatah. “Kalau kamu nurut dengan saya pasti sukses, kalau tidak rasakan sendiri akibatnya” begitu kira-kira titahnya. Jangankan mengkritik, mengusulkan sebuah idepun kadang dianggap pembangkangan.

Setelah beberapa bulan sering bolak-balik dan nongkrong dikantor teman saya, si bapak paranormal ini mulai mendekati saya. Suatu siang ia mengajak saya bicara empat mata. Ia menawarkan saya menjadi pengusaha sukses hanya dalam hitungan bulan seperti teman saya. Ia bilang bahwa ia tidak akan minta prosentase bagi hasil apapun dari kesuksesan bisnis saya nanti. Ia hanya mau menolong saja. “Saya tulus menolong anda. Nanti kalau anda sudah sukses, saya akan cari orang lagi untuk saya bantu”. Naluri jiwa muda tentu saja sempat menggoda, namun saya memutuskan menolak tawarannya secara halus demi menjaga keyakinan agama saya. Si Bapak inipun terlihat tersinggung. Kontrak kerja saya dengan teman sayapun diputusnya. Sayapun bingung dimana ketulusan yang ia bicarakan kemarin? 

Dari situ saya belajar bahwa ternyata ada orang yang menolong untuk mencari kekuasaan. Orang tipe ini selalu berpikir “Kamu tidak akan berhasil tanpa saya tolong!” atau "Anda bisa begini karena saya". Akibatnya orang ini akan marah-marah kalau kita terlihat kurang menghargai dia. Mereka juga rajin menyebut-nyebut jasa-jasanya sambil tidak lupa mengatakan betapa tulusnya ia menolong kita. Terdengar lucu memang. Orang ini dengan sangat halus mengikat kita dalam sebuah permainan yang mengintimidasi. Semua tata nilai harus sesuai persepsinya. Sekali masuk dalam permainannya, anda yang 'tidak enakan' akan dibuat bingung bagaimana harus bersikap. Orang yang memegang posisi otoritas tertentu lebih mudah memainkan permainan ini.

Nah begitulah kira-kira teori singkat saya. Jadi kalau besok-besok anda bertemu dengan orang yang selalu menyebut-nyebut kebaikan dan ketulusannya, namun di satu sisi ia marah-marah kalau anda terlihat kurang menghargai ketulusannya dan mulai memainkan politik hutang budi. Anda mungkin perlu waspada. Jangan-jangan ia sedang mengajak anda memainkan sebuah permainan mengintimidasi bernama "Permainan menolong"!

Senin, 21 Maret 2016

SEKOLAH ALA KICK ANDY




Ted Kaczynski adalah seorang siswa yang memiliki prestasi luar biasa. Ia terkenal sering loncat kelas karena pencapaian prestasi akademiknya yang mengagumkan banyak teman dan gurunya. Ia menyelesaikan studi SMAnya dalam waktu sangat cepat dan berhasil diterima di Harvard University di usianya yang masih 16 tahun. Selanjutnya si jenius ini meneruskan kuliahnya hingga mendapatkan gelar Ph.D. di bidang matematika dari University of Michigan.  

Saya tidak bisa membayangkan jika saya menjadi Ted Kaczynski waktu sekolah dulu. Betapa luar biasanya sekolah akan memperlakukan saya. Bayangkan, selain memiliki nilai akademik yang tinggi, di usia 16 tahun saya mampu memasuki sebuah universitas super bergengsi yang menjadi impian anak-anak pintar di seluruh dunia. Saya pasti akan menjadi topik obrolan yang inspiratif di ruang guru atau pertemuan para orang tua. Foto saya mungkin akan dipajang di ruang tamu sekolah diatas deretan piala-piala besar yang biasanya menjadi pemandangan khas kebanyakan ruang tamu sekolah kita. Teman-teman saya pasti akan begitu mengagumi saya dan bangga menceritakan bahwa saya adalah teman almamaternya dulu. 

Sampai disini saya yakin anda setuju dengan gambaran bahwa anak-anak seperti saya (eh..Ted Kaczynski maksudnya) pasti akan mendapatkan privilege luar biasa di sekolah dan menjadi anak kesayangan para guru. Tapi tunggu dulu! Ceritanya belum selesai sampai disini. Setelah beberapa tahun menjadi pengajar di University of California di Barkeley, Kaczynski mengundurkan diri dan pindah ke sebuah pedesaan di Montana dimana ia mengasingkan diri di sebuah rumah. Pada tahun 1996 ia ditangkap dan dihukum penjara seumur hidup sebagai pembunuh paling dicari di Amerika. Kaczynski didakwa sebagai dalang misteri rentetan paket mail-bomb yang dikirim ke rumah-rumah dan menyebabkan tewasnya banyak orang. 

Anda mungkin terkejut dengan cerita Ted diatas. Bagaimana siswa yang pintar dan mengagumkan di sekolah bisa menjadi pelaku kriminal yang tidak berperikemanusiaan. Anehnya, pertama kali membaca cerita Ted, saya sama sekali tidak terkejut. Fenomena anak seperti Ted hanyalah pucuk dari sebuah gunung es dimana bagian bawahnya masih lebih besar lagi. Dalam bentuknya yang lain, perilaku tidak berperikemanusiaan seperti Ted sebenarnya sangat subur kita jumpai di negri ini. Kalau anda cek secara teliti hampir semua koruptor kakap yang tertangkap aparat hukum adalah jebolan  pendidikan tinggi. Mereka bukan orang-orang yang minim prestasi. Beberapa diantara mereka bahkan doktor lulusan luar negri dari universitas bergengsi. Saat mereka melakukan korupsi mereka jelas melakukan tindakan tidak berperikemanusiaan. Bagaimana mungkin mereka bisa mengoleksi rumah dan mobil sport mewah dari uang yang seharusnya diberikan untuk anak seperti Yuliaman Zakaria (dan ratusan teman-temannya) si penderita gizi buruk yang hanya memiliki berat 7 kg di usianya yang sudah menginjak 8 tahun. Menurut saya para koruptor seperti ini memiliki tingkat kesadisan yang lebih tinggi dibanding Ted Kaczynski . Herannya mereka seperti tidak pernah ada habis-habisnya. Ditangkap satu tumbuh seribu. Fenomena terakhir malah mereka tertangkap secara berpasangan, suami dan istrinya. 

Semua ini karena ada yang salah pada proses di hulu ketimbang hilirnya : tradisi pendidikan kita! Tradisi pendidikan yang begitu membanggakan prestasi kognitif akan menghasilkan anak-anak yang cerdas otaknya tapi kosong jiwanya. Gambaran yang tadi saya berikan tentang privilage sekolah yang mengeluk-elukan anak-anak berprestasi kognitif adalah sebuah realitas yang hampir kita jumpai di semua sekolah . Makna pendidikan yang sejatinya bertujuan merubah perilaku manusia menjadi berkarakter mulia direduksi hanya sebagai capaian angka belaka. Cobalah rasakan suasana di hari pembagian rapor: Suasana yang sakral. Angka-angka menjadi tujuan dan pembicaraan serius.
Bahkan dalam waktu dekat ini anda akan banyak menjumpai spanduk-spanduk besar di depan gerbang sekolah. Isinya apalagi kalau bukan kegenitan sekolah untuk mengatakan “SEKOLAH KAMI 100% LULUS UN” . Inilah potret betapa angka-angka masih menjadi ‘panglima’ dalam tradisi pendidikan kita. Sekolah punya kewajiban memamerkan angka ketimbang menunjukan keberhasilan proses pendidikan mereka dari santunnya perilaku siswa. Pendidikan agama yang harusnya di dekati dengan teladan justru diaplikasikan dalam bentuk – lagi-lagi - hafalan. Coba saja lihat suasana setelah selesai acara perayaan keagamaan di sekolah, sampah bekas makanan dan minuman berserakan dimana-mana.  Padahal saya yakin seyakin-yakinnya anak-anak ini bisa menjawab dengan cepat soal di ujian mata pelajaran agama berikut :“kebersihan itu sebagian dari........”

Sayapun berpikir mungkinkah tradisi pendidikan kita di dekati dengan cara yang lain. Sebagai penggemar berat acara Kick Andy, saya berpikir apakah mungkin tradisi pendidikan kita di evaluasi dengan cara yang sama dengan penghargaan kita terhadap sosok-sosok inspiratif yang di undang di acara tersebut. Acara Kick Andy menampilkan manusia-manusia berkarakter dan inspiratif yang berbuat sesuatu untuk kemaslahatan banyak orang. Ada value dan karakter disitu. Ada seorang dokter yang membuat rumah sakit apung untuk orang-orang tidak mampu. Ada seorang supir bis yang membangun sekolah gratis untuk anak-anak tidak mampu. Ada seorang satpam yang merawat orang-orang dengan gangguan jiwa dirumahnya. Guru-guru muda yang meninggalkan karir cemerlang untuk mengajar di sekolah-sekolah di pelosok dan masih banyak lagi cerita sosok-sosok luar biasa. 

Sayapun berandai-andai kapan ada sekolah yang setiap hari mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai keteladanan dan menginspirasikan yang outcome-nya ditampilkan bukan dalam bentuk angka-angka tapi “impact” yang siswa lakukan kepada masyarakat. Hari bagi rapor dihilangkan dan digantikan dengan hari penghargaan terhadap anak-anak yang berhasil menunjukan prestasi nyata di masyarakat. Ada anak yang membuat sepatu khusus untuk membantu orang buta,  membuat inovasi perpustakaan anak, membuat alat daur ulang kertas, gerakan membebaskan trotoar dan masih banyak lagi. Anak-anak didorong untuk menjadi sosok-sosok kreatif yang mampu berbuat nyata di masyarakat. Bukan hanya menghafal jawaban-jawaban soal ujian yang beberapa hari setelah musim ujian selesai akan segera mereka lupakan. Sungguh tidak terbayang generasi seperti yang akan terjadi 10-20 tahun kemudian. Kalau ada sekolah yang seperti ini mungkin tidak ada lagi acara contek mencotek atau membeli kunci jawaban demi mendapatkan nilai tinggi yang nantinya bisa dipamerkan di hari bagi rapor atau hari pengumuman hasil ujian. Karena anak-anak ini akan lebih disibukan untuk memikirkan ‘keresahan dirinya’ atau ‘panggilan jiwanya’ untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang dari pada gelar pendidikan apa yang akan ia dapat.



Rabu, 16 Maret 2016

‘TITIK BUTA’ DI DALAM DIRI KITA



Selepas mengajar sebuah kelas biola, Shinichi Suzuki didatangi seorang laki-laki yang memintanya untuk mengajarkan anaknya bermain biola . Kejadian ini terjadi di tahun 1931. Shinichi Suzuki adalah seorang pelatih biola berusia muda ketika itu. Suzuki terlihat bingung menjawab permintaan laki-laki itu. Walalupun ia sudah terbiasa melatih orang bermain biola tapi kali ini ia merasa ragu memenuhi permintaannya karena laki-laki itu menyebutkan anaknya yang baru berusia 4 tahun. Suzuki belum tahu bagaimana mengajari anak berusia 4 tahun bermain biola. 

Dalam kebimbangannya tersebut, tiba-tiba sebuah pikiran melintas dalam benak Suzuki : bukankah hampir semua anak-anak berusia 4 tahun di Jepang sudah mampu berbicara dengan baik? Anak kecil di Osaka bahkan mampu menguasai dialek Osaka yang terkenal sulit. Padahal proses mempelajari bahasa merupakan proses rumit yang terjadi di otak manusia. Mungkinkah hal tersebut diaplikasikan ke dunia musik? Bahwa dengan proses pengulangan terus menerus - sebagaimana manusia mempelajari bahasa - maka kemampuan bermain biola sangat mungkin dipelajari anak usia 4 tahun.? Suzuki akhirnya menerima tantangan tersebut. Suzuki mengajarkan Toshiya Eto sebagai murid termudanya dan mengembangkan metode pengajaran yang dinamakan “metode bahasa ibu” dalam bermain biola. Apa yang terjadi selanjutnya adalah sejarah. Toshiya Eto  menjadi musisi biola kelas dunia yang dijuluki “anak ajaib” di dunia musik.
Ivan Galamian pernah mengatakan “Jika kita menganalisis perkembangan seniman-seniman terkenal, kita melihat hampir di setiap sukses karir mereka selalu tergantung pada kualitas latihan dan latihan tersebut selalu diawasi oleh seorang guru (pelatih khusus)”

Didunia olahraga maupun ilmu pengetahuan juga sama. Profesor Andrewas Lehmann dalam penelitiannya menemukan semua yang dianggap anak ajaib memiliki guru yang mengajari mereka dengan intensif, yang memastikan mereka mendapatkan pelatihan yang benar, dan yang tak kalah penting adalah membakar motivasi anak didiknya secara terus menerus. Dibalik pencapaian-pencapaian besar selalu didahului oleh latihan intensif di bawah bimbingan para pelatih khusus. Dalam dunia pemenangan nobel ilmu pengetahuan misalnya, sering kali seorang peraih nobel adalah murid dari pemenang nobel lainnya. 

Disinilah kita melihat pentingnya peran seorang guru atau pelatih khusus dalam mengembangkan kemampuan kita di sebuah bidang. Memiliki pelatih bisa membuat sebuah perbedaan besar. Selain mempercepat proses belajar, pelatih atau guru khusus memastikan anak didik mendapatkan umpan balik yang tepat sasaran. Hal inilah yang sangat disadari seorang raja di Ubud bernama Tjokorda Gde Agung Sukawati.  Tjokorda Gde berinisiatif mendatangkan pelukis-pelukis terkenal dunia sekelas Antonio Blanco ke Bali untuk mengajarkan seni lukis kepada anak-anak Ubud. Sungguh tidak sia-sia usahanya.  Kesenian Ubud kini sudah mendunia. 

Kalau kita perhatikan hampir semua pencapai prestasi besar sebenarnya memiliki pelatih khusus yang selalu setia memberikan umpan balik. Andre Agasi sang legenda tenis lapangan konon memberikan hampir separuh penghasilannya untuk pelatihnya. Mungkin anda bingung bagaimana mungkin para pelatih di bayar semalah itu padahal si atlet tersebut lebih hebat dari pelatihnya. Mike Tyson misalnya seorang petinju yang terkenal sering mengkanvaskan lawannya di ronde pertama dilatih oleh D’Amato seorang pelatih yang sudah tua usianya. Kalau mereka berdua diadu bertanding jelas Tysonlah yang akan menang. Ini bukan karena Tyson tidak memiliki skills yang lebih baik dari pelatihnya tapi karena ia membutuhkan seseorang untuk melihat apa yang tidak dapat ia lihat sendiri. Hal-hal yang tidak dapat ia lihat dengan matanya  sendiri itu disebut “Blind Spot” atau “Titik buta”.
Pada dasarnya setiap orang memiliki titik buta. Sebuah area dalam diri kita yang tidak mampu kita lihat sendiri dan membutuhkan bantuan orang lain. Disinilah fungsi pelatih. Selain memastikan kita mendapatkan pengajaran yang benar , guru atau pelatih khusus juga memberikan sebuah umpan balik atas kesalahan atau kekurangan yang tidak mampu kita lihat. Tujuannya apa? Membuat perbaikan pada diri kita sendiri.

Tidak hanya dalam karir profesional, dalam hidup kita juga membutuhkan bantuan orang lain untuk melihat apa yang ada dalam area blind spot kita. Kita butuh orang lain untuk menasehati kita. Kita butuh orang lain untuk mengingatkan atau menegur jika kita mulai melakukan suatu yang keliru. Kadang kita tidak bisa melihat kekeliruan kita sendiri. Seperti kata ungkapan bijak "Ada satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang hebat sekalipun, yaitu menilai dirinya sendiri". Disinilah dibutuhkan kerendahan hati kita untuk menerima kritik dan nasihat yang sebenarnya akan menyelamatkan kita. Kita bukan makhluk yang sempurna, jadi biarkanlah orang lain yang menjadi mata kita.